Tuesday, July 6, 2010
hARgailaH dia...(Kutitipkan Surat Ini Untukmu)
Assalamu’alaikum,
Segala puji Ibu panjatkan kehadirat
Allah ta’ala yang telah memudahkan
Ibu untuk beribadah kepada-Nya.
Shalawat serta salam Ibu sampaikan
kepada Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam, keluarga dan para
sahabatnya. Amin…
Wahai anakku,
Surat ini datang dari Ibumu yang
selalu dirundung sengsara… Setelah
berpikir panjang Ibu mencoba untuk
menulis dan menggoreskan pena,
sekalipun keraguan dan rasa malu
menyelimuti diri. Setiap kali menulis,
setiap kali itu pula gores tulisan
terhalang oleh tangis, dan setiap kali
menitikkan air mata setiap itu pula hati
terluka…
Wahai anakku!
Sepanjang masa yang telah engkau
lewati, kulihat engkau telah menjadi
laki-laki dewasa, laki-laki yang cerdas
dan bijak! Karenanya engkau pantas
membaca tulisan ini, sekalipun
nantinya engkau remas kertas ini lalu
engkau merobeknya, sebagaimana
sebelumnya engkau telah remas hati
dan telah engkau robek pula
perasaanku.
Wahai anakku… 25 tahun telah berlalu,
dan tahun-tahun itu merupakan tahun
kebahagiaan dalam kehidupanku.
Suatu ketika dokter datang
menyampaikan kabar tentang
kehamilanku dan semua ibu sangat
mengetahui arti kalimat tersebut.
Bercampur rasa gembira dan bahagia
dalam diri ini sebagaimana ia adalah
awal mula dari perubahan fisik dan
emosi…
Semenjak kabar gembira tersebut aku
membawamu 9 bulan. Tidur, berdiri,
makan dan bernafas dalam kesulitan.
Akan tetapi itu semua tidak
mengurangi cinta dan kasih sayangku
kepadamu, bahkan ia tumbuh bersama
berjalannya waktu.
Aku mengandungmu, wahai anakku!
Pada kondisi lemah di atas lemah,
bersamaan dengan itu aku begitu
gembira tatkala merasakan melihat
terjangan kakimu dan balikan
badanmu di perutku. Aku merasa puas
setiap aku menimbang diriku, karena
semakin hari semakin bertambah berat
perutku, berarti engkau sehat wal afiat
dalam rahimku.
Penderitaan yang berkepanjangan
menderaku, sampailah saat itu, ketika
fajar pada malam itu, yang aku tidak
dapat tidur dan memejamkan mataku
barang sekejap pun. Aku merasakan
sakit yang tidak tertahankan dan rasa
takut yang tidak bisa dilukiskan.
Sakit itu terus berlanjut sehingga
membuatku tidak dapat lagi menangis.
Sebanyak itu pula aku melihat
kematian menari-nari di pelupuk
mataku, hingga tibalah waktunya
engkau keluar ke dunia. Engkau pun
lahir… Tangisku bercampur dengan
tangismu, air mata kebahagiaan.
Dengan semua itu, sirna semua
keletihan dan kesedihan, hilang semua
sakit dan penderitaan, bahkan kasihku
padamu semakin bertambah dengan
bertambah kuatnya sakit. Aku raih
dirimu sebelum aku meraih minuman,
aku peluk cium dirimu sebelum
meneguk satu tetes air ke
kerongkonganku.
Wahai anakku… telah berlalu tahun
dari usiamu, aku membawamu dengan
hatiku dan memandikanmu dengan
kedua tangan kasih sayangku. Saripati
hidupku kuberikan kepadamu. Aku
tidak tidur demi tidurmu, berletih demi
kebahagiaanmu.
Harapanku pada setiap harinya, agar
aku melihat senyumanmu.
Kebahagiaanku setiap saat adalah
celotehmu dalam meminta sesuatu,
agar aku berbuat sesuatu
untukmu…itulah kebahagiaanku!
Kemudian, berlalulah waktu. Hari
berganti hari, bulan berganti bulan dan
tahun berganti tahun. Selama itu pula
aku setia menjadi pelayanmu yang
tidak pernah lalai, menjadi dayangmu
yang tidak pernah berhenti, dan
menjadi pekerjamu yang tidak pernah
mengenal lelah serta mendo’akan
selalu kebaikan dan taufiq untukmu.
Aku selalu memperhatikan dirimu hari
demi hari hingga engkau menjadi
dewasa. Badanmu yang tegap, ototmu
yang kekar, kumis dan jambang tipis
yang telah menghiasi wajahmu, telah
menambah ketampananmu. Tatkala itu
aku mulai melirik ke kiri dan ke kanan
demi mencari pasangan hidupmu.
Semakin dekat hari perkawinanmu,
semakin dekat pula hari kepergianmu.
saat itu pula hatiku mulai serasa
teriris-iris, air mataku mengalir, entah
apa rasanya hati ini. Bahagia telah
bercampur dengan duka, tangis telah
bercampur pula dengan tawa. Bahagia
karena engkau mendapatkan pasangan
dan sedih karena engkau pelipur hatiku
akan berpisah denganku.
Waktu berlalu seakan-akan aku
menyeretnya dengan berat. Kiranya
setelah perkawinan itu aku tidak lagi
mengenal dirimu, senyummu yang
selama ini menjadi pelipur duka dan
kesedihan, sekarang telah sirna
bagaikan matahari yang ditutupi oleh
kegelapan malam. Tawamu yang
selama ini kujadikan buluh perindu,
sekarang telah tenggelam seperti batu
yang dijatuhkan ke dalam kolam yang
hening, dengan dedaunan yang
berguguran. Aku benar-benar tidak
mengenalmu lagi karena engkau telah
melupakanku dan melupakan hakku.
Terasa lama hari-hari yang kulewati
hanya untuk ingin melihat rupamu.
Detik demi detik kuhitung demi
mendengarkan suaramu. Akan tetapi
penantian kurasakan sangat panjang.
Aku selalu berdiri di pintu hanya untuk
melihat dan menanti kedatanganmu.
Setiap kali berderit pintu aku
manyangka bahwa engkaulah orang
yang datang itu. Setiap kali telepon
berdering aku merasa bahwa
engkaulah yang menelepon. Setiap
suara kendaraan yang lewat aku
merasa bahwa engkaulah yang datang.
Akan tetapi, semua itu tidak ada.
Penantianku sia-sia dan harapanku
hancur berkeping, yang ada hanya
keputusasaan. Yang tersisa hanyalah
kesedihan dari semua keletihan yang
selama ini kurasakan. Sambil
menangisi diri dan nasib yang memang
telah ditakdirkan oleh-Nya.
Anakku… ibumu ini tidaklah meminta
banyak, dan tidaklah menagih
kepadamu yang bukan-bukan. Yang
Ibu pinta, jadikan ibumu sebagai
sahabat dalam kehidupanmu.
Jadikanlah ibumu yang malang ini
sebagai pembantu di rumahmu, agar
bisa juga aku menatap wajahmu, agar
Ibu teringat pula dengan hari-hari
bahagia masa kecilmu.
Dan Ibu memohon kepadamu, Nak!
Janganlah engkau memasang jerat
permusuhan denganku, jangan engkau
buang wajahmu ketika Ibu hendak
memandang wajahmu!!
Yang Ibu tagih kepadamu, jadikanlah
rumah ibumu, salah satu tempat
persinggahanmu, agar engkau dapat
sekali-kali singgah ke sana sekalipun
hanya satu detik. Jangan jadikan ia
sebagai tempat sampah yang tidak
pernah engkau kunjungi, atau
sekiranya terpaksa engkau datangi
sambil engkau tutup hidungmu dan
engkaupun berlalu pergi.
Anakku, telah bungkuk pula
punggungku. Bergemetar tanganku,
karena badanku telah dimakan oleh
usia dan digerogoti oleh penyakit…
Berdiri seharusnya dipapah, dudukpun
seharusnya dibopong, sekalipun begitu
cintaku kepadamu masih seperti dulu…
Masih seperti lautan yang tidak pernah
kering. Masih seperti angin yang tidak
pernah berhenti.
Sekiranya engakau dimuliakan satu
hari saja oleh seseorang, niscaya
engkau akan balas kebaikannya
dengan kebaikan setimpal. Sedangkan
kepada ibumu… Mana balas budimu,
nak!?
Mana balasan baikmu! Bukankah air
susu seharusnya dibalas dengan air
susu serupa?! Akan tetapi kenapa nak!
Susu yang Ibu berikan engkau balas
dengan tuba. Bukankah Allah ta’ala
telah berfirman, “Bukankah balasan
kebaikan kecuali dengan kebaikan
pula?!” (QS. Ar Rahman: 60) Sampai
begitu keraskah hatimu, dan sudah
begitu jauhkah dirimu?! Setelah
berlalunya hari dan berselangnya
waktu?!
Wahai anakku, setiap kali aku
mendengar bahwa engkau bahagia
dengan hidupmu, setiap itu pula
bertambah kebahagiaanku. Bagaimana
tidak, engkau adalah buah dari kedua
tanganku, engkaulah hasil dari
keletihanku. Engkaulah laba dari
semua usahaku! Kiranya dosa apa
yang telah kuperbuat sehingga engkau
jadikan diriku musuh bebuyutanmu?!
Pernahkah aku berbuat khilaf dalam
salah satu waktu selama bergaul
denganmu, atau pernahkah aku
berbuat lalai dalam melayanimu?
Terus, jika tidak demikian, sulitkah
bagimu menjadikan statusku sebagai
budak dan pembantu yang paling hina
dari sekian banyak pembantumu .
Semua mereka telah mendapatkan
upahnya!? Mana upah yang layak
untukku wahai anakku!
Dapatkah engkau berikan sedikit
perlindungan kepadaku di bawah
naungan kebesaranmu? Dapatkah
engkau menganugerahkan sedikit
kasih sayangmu demi mengobati derita
orang tua yang malang ini? Sedangkan
Allah ta’ala mencintai orang yang
berbuat baik.
Wahai anakku!! Aku hanya ingin
melihat wajahmu, dan aku tidak
menginginkan yang lain.
Wahai anakku! Hatiku teriris, air
mataku mengalir, sedangkan engkau
sehat wal afiat. Orang-orang sering
mengatakan bahwa engkau seorang
laki-laki supel, dermawan, dan
berbudi.
Anakku… Tidak tersentuhkah hatimu
terhadap seorang wanita tua yang
lemah, tidak terenyuhkah jiwamu
melihat orang tua yang telah renta ini,
ia binasa dimakan oleh rindu,
berselimutkan kesedihan dan
berpakaian kedukaan!? Bukan karena
apa-apa?! Akan tetapi hanya karena
engkau telah berhasil mengalirkan air
matanya… Hanya karena engkau telah
membalasnya dengan luka di hatinya…
hanya karena engkau telah pandai
menikam dirinya dengan belati
durhakamu tepat menghujam
jantungnya… hanya karena engkau
telah berhasil pula memutuskan tali
silaturrahim?!
Wahai anakku, ibumu inilah
sebenarnya pintu surga bagimu. Maka
titilah jembatan itu menujunya,
lewatilah jalannya dengan senyuman
yang manis, pemaafan dan balas budi
yang baik. Semoga aku bertemu
denganmu di sana dengan kasih
sayang Allah ta’ala, sebagaimana
dalam hadits: “Orang tua adalah pintu
surga yang di tengah. Sekiranya
engkau mau, maka sia-siakanlah pintu
itu atau jagalah!!” (HR. Ahmad)
Anakku. Aku sangat mengenalmu, tahu
sifat dan akhlakmu. Semenjak engkau
telah beranjak dewasa saat itu pula
tamak dan labamu kepada pahala dan
surga begitu tinggi. Engkau selalu
bercerita tentang keutamaan shalat
berjamaah dan shaf pertama. Engkau
selalu berniat untuk berinfak dan
bersedekah.
Akan tetapi, anakku! Mungkin ada satu
hadits yang terlupakan olehmu! Satu
keutamaan besar yang terlalaikan
olehmu yaitu bahwa Nabi yang mulia
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Dari Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu
berkata: Aku bertanya kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Wahai Rasulullah, amal apa yang
paling mulia? Beliau bersabda: “Shalat
pada waktunya”, aku berkata:
“Kemudian apa, wahai Rasulullah?”
Beliau bersabda: “Berbakti kepada
kedua orang tua”, dan aku berkata:
“Kemudian, wahai Rasulullah!” Beliau
menjawab, “Jihad di jalan Allah”, lalu
beliau diam. Sekiranya aku bertanya
lagi, niscaya beliau akan
menjawabnya. (Muttafaqun ‘alaih)
Wahai anakku!! Ini aku, pahalamu,
tanpa engkau bersusah payah untuk
memerdekakan budak atau berletih
dalam berinfak. Pernahkah engkau
mendengar cerita seorang ayah yang
telah meninggalkan keluarga dan
anak-anaknya dan berangkat jauh dari
negerinya untuk mencari tambang
emas?! Setelah tiga puluh tahun dalam
perantauan, kiranya yang ia bawa
pulang hanya tangan hampa dan
kegagalan. Dia telah gagal dalam
usahanya. Setibanya di rumah, orang
tersebut tidak lagi melihat gubuk
reotnya, tetapi yang dilihatnya adalah
sebuah perusahaan tambang emas
yang besar. Berletih mencari emas di
negeri orang kiranya, di sebelah gubuk
reotnya orang mendirikan tambang
emas.
Begitulah perumpamaanmu dengan
kebaikan. Engkau berletih mencari
pahala, engkau telah beramal banyak,
tapi engkau telah lupa bahwa di
dekatmu ada pahala yang maha besar.
Di sampingmu ada orang yang dapat
menghalangi atau mempercepat
amalmu. Bukankah ridhoku adalah
keridhoan Allah ta’ala, dan murkaku
adalah kemurkaan-Nya?
Anakku, yang aku cemaskan
terhadapmu, yang aku takutkan bahwa
jangan-jangan engkaulah yang
dimaksudkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam dalam sabdanya: “Merugilah
seseorang, merugilah seseorang,
merugilah seseorang”, dikatakan,
“Siapa dia,wahai Rasulullah?,
Rasulullah menjawab, “Orang yang
mendapatkan kedua ayah ibunya
ketika tua, dan tidak memasukkannya
ke surga”. (HR. Muslim)
Anakku… Aku tidak akan angkat
keluhan ini ke langit dan aku tidak
adukan duka ini kepada Allah, karena
sekiranya keluhan ini telah
membumbung menembus awan,
melewati pintu-pintu langit, maka akan
menimpamu kebinasaan dan
kesengsaraan yang tidak ada obatnya
dan tidak ada dokter yang dapat
menyembuhkannya. Aku tidak akan
melakukannya, Nak! Bagaimana aku
akan melakukannya sedangkan engkau
adalah jantung hatiku… Bagaimana
ibumu ini kuat menengadahkan
tangannya ke langit sedangkan engkau
adalah pelipur laraku. Bagaimana Ibu
tega melihatmu merana terkena do’a
mustajab, padahal engkau bagiku
adalah kebahagiaan hidupku.
Bangunlah Nak!
Uban sudah mulai merambat di
kepalamu. Akan berlalu masa hingga
engkau akan menjadi tua pula, dan al
jaza’ min jinsil amal… “Engkau akan
memetik sesuai dengan apa yang
engkau tanam…” Aku tidak ingin
engkau nantinya menulis surat yang
sama kepada anak-anakmu, engkau
tulis dengan air matamu sebagaimana
aku menulisnya dengan air mata itu
pula kepadamu.
Wahai anakku, bertaqwalah kepada
Allah pada ibumu, peganglah kakinya!!
Sesungguhnya surga di kakinya.
Basuhlah air matanya, balurlah
kesedihannya, kencangkan tulang
ringkihnya, dan kokohkan badannya
yang telah lapuk. Anakku… Setelah
engkau membaca surat ini,terserah
padamu! Apakah engkau sadar dan
akan kembali atau engkau ingin
merobeknya.
Wassalam,
Ibumu.....
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment